Selasa, 30 September 2025

Kuliah Zaman Now: Seberapa Efektif AI di Dunia Perkuliahan?

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd
(Dosen & Praktisi Pendidikan)

Pernah kebayang nggak kalau tugas kuliah bisa dikoreksi otomatis, atau kamu punya “asisten pribadi” yang siap menjawab pertanyaan kapan pun? Itu semua sudah bukan mimpi lagi, karena sekarang ada Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan. Dunia perkuliahan pun mulai akrab dengan teknologi ini. Tapi sebenarnya, seberapa efektif sih penggunaan AI di bangku kuliah? Yuk kita bahas!

AI: Bukan Pengganti Dosen, tapi Teman Belajar
Banyak yang khawatir AI bakal “menggantikan dosen”. Padahal, AI lebih cocok disebut teman belajar. Misalnya, sistem AI bisa menyesuaikan materi kuliah sesuai dengan kemampuan tiap mahasiswa. Kalau kamu agak lemah di statistik, AI bisa kasih latihan tambahan yang sesuai levelmu. Jadi, belajar nggak lagi terasa “sama rata” buat semua mahasiswa.

Hemat Waktu, Hemat Energi
Bagi dosen, AI bagaikan “asisten super”. Bayangin kalau ratusan lembar ujian pilihan ganda bisa diperiksa otomatis, atau laporan mahasiswa bisa dicek plagiarismenya dalam hitungan menit. Dosen jadi punya lebih banyak waktu untuk hal-hal yang lebih penting: diskusi, riset, atau sekadar ngobrol inspiratif di kelas.

Mahasiswa Lebih Mandiri
Buat mahasiswa, AI itu seperti punya tutor pribadi 24 jam. Mau tanya soal rumus, teori, atau sekadar minta penjelasan ulang, chatbot berbasis AI siap menjawab kapan saja. Kamu juga bisa lihat progress belajar sendiri: sudah sampai mana pemahamanmu, dan apa yang perlu ditingkatkan. Hasilnya? Kamu jadi lebih aktif dan percaya diri.

Tantangan yang Nggak Boleh Dilupakan
Tentu saja, semua yang canggih pasti ada tantangannya. Tidak semua kampus punya infrastruktur memadai untuk menjalankan sistem AI. Selain itu, ada risiko ketergantungan—jangan sampai semua dikerjakan AI, mahasiswa tinggal duduk manis. Belum lagi isu etika, seperti plagiarisme dan keamanan data pribadi.

Jadi, Efektif Nggak?
Jawabannya: iya, tapi dengan catatan. AI memang membuat perkuliahan lebih efisien, interaktif, dan personal. Tapi tetap saja, AI hanyalah alat bantu. Peran dosen sebagai sosok yang memberi inspirasi, nilai, dan bimbingan tidak tergantikan. AI sebaiknya dipandang sebagai “asisten cerdas” yang memperkaya pengalaman kuliah, bukan sebagai pengganti manusia.

Sabtu, 27 September 2025

Kontribusi Riset Perguruan Tinggi pada Masyarakat

Abstrak

Penelitian merupakan salah satu pilar utama dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yang memiliki kontribusi signifikan terhadap pembangunan bangsa. Artikel ini membahas peran strategis riset perguruan tinggi dalam memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat, baik dalam aspek inovasi, pemberdayaan, kebijakan publik, transformasi ekonomi, maupun transfer pengetahuan. Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, artikel ini menegaskan bahwa riset perguruan tinggi bukan hanya bertujuan menghasilkan publikasi akademik, tetapi juga berimplikasi langsung pada peningkatan kesejahteraan sosial dan pembangunan berkelanjutan.

Kata kunci: Riset, Perguruan Tinggi, Inovasi, Pemberdayaan Masyarakat, Kebijakan Publik

Pendahuluan

Perguruan tinggi memiliki mandat besar melalui pelaksanaan Tri Dharma, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di antara ketiga dharma tersebut, penelitian berfungsi sebagai wahana untuk menemukan, mengembangkan, dan menerapkan ilmu pengetahuan yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan nyata di masyarakat (Suryana, 2019). Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, riset merupakan instrumen penting dalam pembangunan bangsa, yang hasilnya dapat diintegrasikan ke dalam pembelajaran sekaligus menjadi dasar pengabdian kepada masyarakat.

Riset perguruan tinggi tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga aplikatif. Hal ini sesuai dengan paradigma research-based community service yang menekankan keterkaitan antara hasil penelitian dengan kebutuhan masyarakat (Hendayana, 2020). Oleh karena itu, riset diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara dunia akademik dengan praktik nyata dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan politik.

Pembahasan

1. Riset sebagai Sumber Inovasi

Hasil penelitian perguruan tinggi menjadi landasan dalam melahirkan inovasi di berbagai bidang. Inovasi teknologi, kesehatan, pertanian, maupun pendidikan terbukti mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Nasution, 2021). Sebagai contoh, penelitian di bidang pertanian telah menghasilkan varietas unggul padi tahan hama dan efisien dalam penggunaan pupuk, yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas dan ketahanan pangan.

2. Riset dalam Pemberdayaan Masyarakat

Penelitian berbasis community development memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat aktif dalam proses riset. Model penelitian partisipatif ini tidak hanya menghasilkan data akademik, tetapi juga meningkatkan kapasitas masyarakat dalam mengelola potensi lokal (Setiawan, 2020). Misalnya, riset pengolahan limbah organik menjadi kompos dan biogas telah membantu masyarakat desa mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil sekaligus meningkatkan kesadaran lingkungan.

3. Riset sebagai Dasar Kebijakan Publik

Kebijakan publik yang efektif membutuhkan landasan ilmiah. Perguruan tinggi, melalui penelitian, berkontribusi menyediakan data empiris dan analisis berbasis bukti (evidence-based policy) yang dapat membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan (Sulastri, 2018). Contoh konkret adalah riset epidemiologi yang mendukung kebijakan kesehatan masyarakat, terutama pada masa pandemi COVID-19.

4. Riset dan Transformasi Ekonomi

Riset juga memainkan peran penting dalam mendorong transformasi ekonomi. Kolaborasi antara perguruan tinggi dengan dunia industri menghasilkan inovasi produk dan jasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Hidayat, 2021). Hal ini sesuai dengan visi triple helix collaboration yang menekankan sinergi antara akademisi, pemerintah, dan sektor industri dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan.

5. Riset sebagai Media Transfer Pengetahuan

Publikasi ilmiah, seminar, konferensi, maupun forum masyarakat menjadi sarana transfer pengetahuan dari perguruan tinggi ke masyarakat. Melalui diseminasi hasil penelitian, masyarakat memperoleh pemahaman baru yang dapat diadaptasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, perguruan tinggi berperan sebagai agen pencerahan (agent of enlightenment) dalam pembangunan bangsa (Hendayana, 2020).

Kesimpulan

Kontribusi riset perguruan tinggi terhadap masyarakat bersifat multidimensional, meliputi inovasi, pemberdayaan, kebijakan publik, transformasi ekonomi, dan transfer pengetahuan. Penelitian tidak boleh dipandang sekadar sebagai kewajiban akademis, melainkan sebagai instrumen strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah, industri, dan masyarakat harus diperkuat agar hasil riset benar-benar dapat dirasakan manfaatnya secara luas.

Daftar Pustaka

Hendayana, S. (2020). Penguatan Peran Riset dalam Pengabdian kepada Masyarakat. Jakarta: LIPI Press.

Hidayat, R. (2021). “Kolaborasi Triple Helix dalam Penguatan Inovasi Perguruan Tinggi.” Jurnal Inovasi dan Teknologi, 8(2), 55–67.

Nasution, F. (2021). Inovasi Teknologi dan Dampaknya terhadap Pembangunan Masyarakat. Medan: USU Press.

Setiawan, A. (2020). “Pendekatan Partisipatif dalam Penelitian Pengabdian Masyarakat.” Jurnal Pemberdayaan Sosial, 5(1), 33–47.

Sulastri, D. (2018). “Riset Akademik sebagai Basis Kebijakan Publik.” Jurnal Administrasi Negara, 12(1), 77–89.

Suryana, A. (2019). Pendidikan Tinggi dan Peranannya dalam Pembangunan Bangsa. Bandung: Alfabeta.

Selasa, 23 September 2025

Tukeran Gaji Penjabat dan Guru Tiap 4 Bulan: Sebuah Gagasan untuk Menguji Rasa Keadilan

Gaji sering menjadi cermin penghargaan negara terhadap profesi tertentu. Di Indonesia, realitas yang sering kita saksikan adalah adanya jurang yang lebar antara gaji seorang pejabat dengan gaji seorang guru. Padahal, jika ditelisik dari sisi kontribusi, guru disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa yang mencetak generasi, sedangkan pejabat adalah pelayan publik yang diberi mandat untuk mengelola jalannya pemerintahan. Namun, nyatanya penghargaan finansial kepada guru seringkali jauh dari layak, sementara pejabat mendapat fasilitas melimpah.

Maka, gagasan menarik: bagaimana jika gaji pejabat dan guru ditukar setiap empat bulan sekali? Gagasan ini memang terdengar satir, tetapi justru bisa menjadi bahan refleksi yang serius.

Argumen Mendukung Gagasan

1. Menguji Empati Pejabat

Dengan merasakan langsung hidup dengan gaji guru, pejabat akan benar-benar memahami bagaimana beratnya seorang pendidik mengatur keuangan. Dari cicilan rumah, biaya pendidikan anak, hingga kebutuhan sehari-hari yang sering kali jauh dari cukup. Empati tidak bisa lahir hanya dari pidato, tetapi dari pengalaman nyata.

2. Menghargai Peran Guru

Jika pejabat merasakan bahwa gaji guru tidak layak untuk menutup kebutuhan dasar, mereka akan terdorong untuk memperjuangkan kebijakan peningkatan kesejahteraan guru. Tukar gaji ini bukan hanya simbol, tetapi juga strategi menyadarkan bahwa pendidikan membutuhkan dukungan serius, bukan sekadar retorika.

3. Menekan Kesenjangan Sosial

Jurang antara gaji pejabat dan guru adalah gambaran kesenjangan sosial di masyarakat. Dengan sistem tukar, kesenjangan itu setidaknya diuji dan dipertanyakan kembali. Rakyat akan melihat bahwa pejabat juga “turun” merasakan realitas rakyat kecil, bukan hanya hidup dalam kenyamanan fasilitas negara.

Argumen Menolak Gagasan

1. Aspek Praktis dan Hukum

Secara administratif, gaji diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah. Tukar-menukar gaji lintas profesi akan sulit diterapkan tanpa melanggar aturan hukum yang berlaku.

2. Efisiensi dan Profesionalitas

Gaji tinggi bagi pejabat sering dijustifikasi sebagai insentif agar mereka tidak tergoda korupsi. Jika gaji mereka dipangkas terlalu drastis, dikhawatirkan akan mengganggu integritas dan profesionalitas kerja. Meskipun argumen ini bisa diperdebatkan, tetapi tetap menjadi pertimbangan.

3. Potensi Populisme

Gagasan ini bisa saja hanya menjadi wacana populis tanpa solusi nyata. Yang dibutuhkan bukanlah sekadar menukar gaji, tetapi memperjuangkan kenaikan gaji guru secara berkelanjutan dengan basis kebijakan yang jelas.

Kesimpulan

Tukar gaji pejabat dan guru tiap empat bulan mungkin sulit direalisasikan secara teknis, namun gagasan ini mengandung nilai moral yang kuat: keadilan sosial. Ia mengajak kita berpikir ulang tentang bagaimana negara menghargai profesi guru yang sesungguhnya menjadi pondasi peradaban. Jika tukar gaji dianggap utopis, setidaknya ia bisa menjadi tamparan moral agar pemerintah lebih serius memperjuangkan kesejahteraan guru.

Karena sejatinya, bangsa ini tidak akan maju jika guru hanya dihargai dengan pujian, sementara pejabat terus bergelimang fasilitas.

Senin, 22 September 2025

Alam Takambang Jadi Guru: Filosofi Hidup Orang Minangkabau

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)

Pendahuluan

Masyarakat Minangkabau dikenal memiliki filosofi hidup yang sarat makna dan kearifan lokal. Salah satu pepatah yang paling populer dan menjadi dasar pandangan hidup adalah “Alam Takambang Jadi Guru”. Pepatah ini secara harfiah berarti “alam yang terbentang luas menjadi guru.” Ia bukan hanya ungkapan, tetapi pandangan hidup yang mengajarkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta dapat menjadi sumber ilmu, pedoman, dan inspirasi bagi manusia.

Makna Filosofis

Pepatah ini mengandung makna mendalam bahwa manusia harus belajar dari segala fenomena yang ada di sekitarnya. Alam tidak hanya dipandang sebagai tempat hidup, tetapi juga sebagai sumber pelajaran:

  • Gunung yang kokoh mengajarkan keteguhan pendirian.
  • Air yang mengalir melambangkan keluwesan dan kemampuan beradaptasi.
  • Pohon yang berbuah memberi pelajaran tentang manfaat dan keberkahan jika kita memberi kepada sesama.
  • Hewan yang hidup berkelompok mengingatkan arti kebersamaan dan saling tolong-menolong.

Dengan demikian, Alam Takambang Jadi Guru bukanlah sekadar peribahasa, melainkan prinsip hidup untuk terus belajar, menyesuaikan diri, serta mengambil hikmah dari setiap kejadian.

Relevansi dalam Kehidupan Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari, pepatah ini memandu orang Minangkabau untuk:

  1. Menjunjung tinggi pendidikan – belajar tidak hanya di sekolah, tetapi juga dari pengalaman dan lingkungan.
  2. Menghormati alam – menjaga kelestarian lingkungan karena alam adalah guru yang harus dihormati, bukan dieksploitasi.
  3. Mengutamakan musyawarah – sebagaimana alam menunjukkan keseimbangan, masyarakat Minang menekankan mufakat dalam menyelesaikan persoalan.
  4. Beradaptasi di perantauan – orang Minang yang merantau belajar dari kondisi tempat baru, sehingga dapat bertahan dan bahkan sukses di tanah orang.

Nilai-Nilai Pendidikan

Pepatah ini juga memiliki makna pendidikan universal. Anak-anak diajarkan sejak dini untuk:

  • Belajar dari kesalahan, sebagaimana hujan mengajarkan kesabaran, dan pelangi memberi harapan.
  • Menghargai proses, karena sebagaimana biji menjadi pohon, manusia pun perlu waktu dan perjuangan untuk mencapai keberhasilan.
  • Menjaga keseimbangan hidup, seperti siang dan malam yang silih berganti.

Penutup

Pepatah “Alam Takambang Jadi Guru” adalah mutiara kebijaksanaan Minangkabau yang menegaskan bahwa belajar tidak terbatas pada ruang kelas, tetapi berlangsung sepanjang hayat dengan menjadikan alam dan kehidupan sebagai sumber ilmu. Filosofi ini tetap relevan hingga kini, mengingatkan kita untuk senantiasa rendah hati, bijak, dan arif dalam menjalani kehidupan.

Rabu, 17 September 2025

Ki Hajar Dewantara: Sang Bapak Pendidikan yang Mulai Terlupakan

 Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)


Ki Hajar Dewantara adalah sosok yang dalam sejarah Indonesia diberi gelar Bapak Pendidikan Nasional. Nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, dan wafat pada 26 April 1959. Melalui pemikiran dan perjuangannya, lahirlah dasar-dasar pendidikan nasional yang menekankan pada kebebasan belajar, keberpihakan pada rakyat kecil, serta pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Namun, seiring berjalannya waktu, sosok dan ajarannya seakan mulai terlupakan, hanya tinggal sekadar nama yang muncul setiap Hari Pendidikan Nasional. 

Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Ada satu falsafah Ki Hajar yang begitu terkenal:

“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”

Artinya: di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.

Ungkapan ini bukan hanya semboyan, tetapi arah pendidikan yang menekankan peran pendidik sebagai pemandu, bukan penguasa. Bagi Ki Hajar, pendidikan bukan sekadar memindahkan ilmu, melainkan membentuk karakter dan menumbuhkan rasa kebangsaan.

Perjuangan Melawan Kolonialisme

Dalam masa penjajahan Belanda, Ki Hajar Dewantara menentang sistem pendidikan yang diskriminatif. Hanya kalangan priyayi dan bangsawan yang berhak mendapatkan pendidikan, sedangkan rakyat kecil tidak memiliki kesempatan. Untuk melawan itu, Ki Hajar mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922. Melalui lembaga ini, ia membuka akses pendidikan bagi semua anak bangsa tanpa membedakan status sosial.

Mengapa Mulai Terlupakan?

Ironisnya, meski jasanya begitu besar, generasi muda kini lebih sering mengingat nama Ki Hajar Dewantara hanya sebatas tokoh sejarah dalam buku pelajaran. Ada beberapa faktor yang membuat ajaran beliau seakan terpinggirkan:

1. Pendidikan yang Semakin Pragmatis

Sistem pendidikan modern sering kali lebih berorientasi pada angka, nilai ujian, dan target kurikulum. Filosofi pendidikan Ki Hajar tentang kebebasan belajar dan pembentukan karakter justru jarang dihidupkan.

2. Kurangnya Integrasi Nilai Filosofis dalam Kurikulum

Sekolah memang masih mengajarkan siapa Ki Hajar Dewantara, tetapi lebih pada biografi singkat, bukan implementasi gagasan besarnya dalam kehidupan belajar.

3. Budaya Menghafal, Bukan Menghayati

Banyak siswa mengenal semboyan tut wuri handayani, namun tidak memahami makna mendalamnya dalam proses pendidikan.

Relevansi Gagasan Ki Hajar Dewantara

Jika kita melihat kondisi pendidikan hari ini, gagasan Ki Hajar justru sangat relevan:

Pendidikan Merdeka Belajar yang dicanangkan pemerintah saat ini sesungguhnya merupakan refleksi dari pemikiran Ki Hajar.

Kesetaraan akses pendidikan menjadi hal penting di era digital, sama seperti yang dulu diperjuangkan beliau lewat Taman Siswa.

Pembentukan karakter bangsa tetap menjadi fondasi utama agar generasi muda tidak hanya cerdas, tetapi juga berbudaya dan berkepribadian.

Penutup

Ki Hajar Dewantara bukan sekadar nama jalan, nama sekolah, atau simbol di Hari Pendidikan Nasional. Ia adalah peletak dasar pendidikan Indonesia yang menekankan kebebasan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Jika kita hanya mengenalnya sebatas tokoh sejarah tanpa menghidupkan ajarannya, maka benar adanya: Bapak Pendidikan ini perlahan-lahan mulai terlupakan.

Sudah saatnya kita tidak hanya mengingat, tetapi juga menghidupkan kembali gagasan-gagasannya dalam dunia pendidikan modern. Dengan begitu, perjuangan Ki Hajar Dewantara akan selalu relevan dan memberi arah bagi masa depan bangsa.

Minggu, 14 September 2025

Sebenarnya Belajar Matematika Itu Menyenangkan, Loh!

 

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)

Banyak orang beranggapan bahwa Matematika adalah pelajaran yang sulit, menakutkan, bahkan membosankan. Tidak sedikit siswa yang merasa tertekan ketika mendengar kata “Matematika”. Padahal, kalau kita mau melihat dari sisi lain, sebenarnya belajar Matematika itu menyenangkan. Mengapa demikian?

1. Matematika Ada di Sekitar Kita

Setiap hari kita berhadapan dengan Matematika, tanpa kita sadari. Saat berbelanja di pasar, kita menghitung uang kembalian. Saat memasak, kita menakar bahan sesuai resep. Bahkan ketika bermain game, kita sering berurusan dengan angka, skor, dan strategi yang penuh logika. Artinya, Matematika bukan sekadar teori di kelas, tetapi bagian dari kehidupan sehari-hari.

2. Melatih Logika dan Kreativitas

Matematika bukan hanya soal hitung-menghitung. Ia mengajarkan cara berpikir runtut, logis, sekaligus kreatif. Saat mencari solusi dari sebuah soal, otak kita belajar menyusun langkah-langkah, mencoba berbagai cara, hingga menemukan jawaban. Proses inilah yang sebenarnya menyenangkan—karena setiap keberhasilan menyelesaikan soal memberikan rasa puas dan bangga tersendiri.

3. Ternyata Bisa Jadi Permainan

Matematika bisa dijadikan permainan yang mengasyikkan. Misalnya, teka-teki angka, puzzle logika, Sudoku, atau permainan hitung cepat. Dengan pendekatan yang tepat, belajar Matematika bisa terasa seperti bermain sambil mengasah otak. Guru dan orang tua dapat mengubah suasana belajar dengan aktivitas interaktif agar anak-anak semakin antusias.

4. Membawa Manfaat untuk Masa Depan

Kita sering bertanya, “Untuk apa sih belajar Matematika?” Jawabannya, Matematika membantu kita menghadapi berbagai bidang kehidupan: teknologi, ekonomi, sains, bahkan seni dan musik. Orang yang terbiasa berpikir matematis biasanya lebih terampil dalam mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berpikir kritis.

5. Matematika Itu Bahasa Universal

Dimanapun kita berada, angka selalu sama. Dua tambah dua akan selalu empat, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lain. Dengan Matematika, kita bisa berkomunikasi secara universal tanpa batas bahasa. Bukankah itu menyenangkan?

Penutup

Belajar Matematika memang menantang, tetapi bukan berarti menakutkan. Dengan pola pikir yang positif, metode belajar yang kreatif, serta suasana yang menyenangkan, kita bisa menemukan bahwa Matematika sebenarnya penuh dengan keasyikan. Jadi, jangan takut lagi—Matematika itu seru, loh!

Sabtu, 13 September 2025

Statistika Dasar: Ukuran Pemusatan Data (Mean, Median, Modus)

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)

📘 Bahan Ajar

Statistika Dasar: Ukuran Pemusatan Data (Mean, Median, Modus)

A. Tujuan Pembelajaran

Setelah mempelajari materi ini, peserta didik diharapkan mampu:

  1. Menjelaskan pengertian ukuran pemusatan data.

  2. Menghitung mean, median, dan modus dari sekumpulan data.

  3. Membedakan kegunaan masing-masing ukuran pemusatan.

  4. Menerapkan ukuran pemusatan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.


B. Materi Pembelajaran

1. Pengertian Ukuran Pemusatan Data

Ukuran pemusatan data adalah nilai yang mewakili sekumpulan data sehingga memberikan gambaran umum tentang data tersebut. Tiga ukuran pemusatan yang sering digunakan adalah:

  • Mean (Rata-rata hitung)

  • Median (Nilai tengah)

  • Modus (Nilai yang paling sering muncul)


2. Mean (Rata-rata Hitung)

Rumus:

xˉ=xin\bar{x} = \frac{\sum x_i}{n}

Keterangan:

  • xˉ\bar{x} = mean (rata-rata)

  • xi\sum x_i = jumlah seluruh data

  • nn = banyaknya data

Contoh:
Nilai ulangan 5 siswa: 70, 80, 75, 90, 85

xˉ=70+80+75+90+855=4005=80\bar{x} = \frac{70+80+75+90+85}{5} = \frac{400}{5} = 80

👉 Jadi rata-rata nilai adalah 80.


3. Median (Nilai Tengah)

Median adalah nilai yang berada di posisi tengah setelah data diurutkan.

Langkah:

  1. Urutkan data dari kecil ke besar.

  2. Jika nn ganjil → median adalah data ke-n+12\frac{n+1}{2}.

  3. Jika nn genap → median adalah rata-rata data ke-n2\frac{n}{2} dan ke-n2+1\frac{n}{2}+1.

Contoh:
Data: 5, 7, 8, 10, 12, 15, 20 (jumlah data 7, ganjil)
Median = data ke-4 = 10.

Data: 4, 6, 8, 10, 12, 14 (jumlah data 6, genap)
Median = datake3+datake42=8+102=9\frac{data ke-3 + data ke-4}{2} = \frac{8+10}{2} = 9.


4. Modus (Nilai yang Paling Sering Muncul)

Modus adalah data yang paling sering muncul.

Contoh:
Data: 2, 3, 4, 4, 4, 5, 6, 6
👉 Modus = 4, karena paling sering muncul.

Jika ada dua modus disebut bimodal, jika lebih dari dua disebut multimodal.


C. Perbandingan Mean, Median, Modus

  • Mean: menggambarkan rata-rata, tetapi peka terhadap nilai ekstrem (outlier).

  • Median: tidak terpengaruh nilai ekstrem, cocok untuk data yang menyebar tidak merata.

  • Modus: cocok untuk data kategori (misalnya warna favorit, merek pilihan).


D. Latihan Soal

  1. Tentukan mean, median, dan modus dari data berikut:
    5, 7, 8, 8, 10, 12, 15

  2. Nilai ulangan matematika 10 siswa:
    60, 70, 65, 80, 75, 90, 70, 85, 70, 100

    • Hitunglah mean, median, dan modusnya.


Urgensi Penguatan Nilai Agama dan Minangkabau untuk Meminimalisir "Generasi Tawuran"

 

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)

Pendahuluan

Fenomena tawuran pelajar dan kenakalan remaja telah menjadi masalah sosial yang mengkhawatirkan di berbagai daerah, termasuk Sumatera Barat. Tawuran tidak hanya menimbulkan kerugian fisik dan psikologis, tetapi juga merusak citra generasi muda sebagai penerus bangsa. Dalam konteks Minangkabau, fenomena ini tentu sangat bertentangan dengan filosofi luhur “Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah” yang menempatkan agama dan adat sebagai landasan kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, penguatan nilai agama dan kearifan lokal Minangkabau menjadi salah satu solusi strategis untuk menekan munculnya generasi tawuran.

Akar Permasalahan

Beberapa faktor yang mendorong terjadinya tawuran di kalangan generasi muda, antara lain:

  1. Krisis moral dan spiritual – lemahnya pemahaman dan pengamalan ajaran agama membuat remaja kehilangan kontrol diri dan arah hidup.

  2. Dekadensi nilai budaya lokal – generasi muda mulai menjauh dari kearifan lokal Minangkabau yang mengajarkan musyawarah, persaudaraan, dan harga diri.

  3. Pengaruh lingkungan negatif – gaya hidup hedonis, pergaulan bebas, serta tontonan kekerasan di media sosial.

  4. Kurangnya peran keluarga dan sekolah – lemahnya pembinaan karakter menyebabkan remaja mencari identitas melalui kelompok sebaya yang tidak sehat.

Urgensi Penguatan Nilai Agama

Agama memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian remaja. Dalam Islam, tawuran jelas dilarang karena bertentangan dengan ajaran kasih sayang, ukhuwah, dan larangan berbuat zalim. Penguatan nilai agama dapat diwujudkan melalui:

  • Pendidikan agama yang aplikatif, tidak hanya teori tetapi juga praktik akhlak.

  • Pemberdayaan masjid dan surau sebagai pusat pembinaan generasi muda.

  • Teladan nyata dari orang tua, guru, dan tokoh agama.

Dengan agama yang kokoh, remaja akan memiliki benteng moral yang mampu menolak ajakan untuk melakukan kekerasan.

Urgensi Penguatan Nilai Minangkabau

Filosofi Minangkabau “Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah” menekankan bahwa adat dan agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Nilai-nilai Minangkabau yang relevan untuk menekan budaya tawuran antara lain:

  • Musyawarah mufakat – mendorong penyelesaian masalah tanpa kekerasan.

  • Raso jo pareso – melatih empati dan kepekaan sosial.

  • Sakik samo diraso, barek samo dipikua – menanamkan solidaritas, bukan permusuhan.

  • Randah hati, tinggi budi – mengajarkan sikap rendah hati dan berbudi luhur.

Jika nilai-nilai ini kembali ditanamkan, generasi muda Minangkabau tidak akan mudah terjerumus pada tindakan tawuran, sebab harga diri dan kehormatan lebih ditentukan oleh akhlak, bukan kekuatan fisik.

Sinergi Agama dan Adat

Penguatan nilai agama dan adat tidak bisa berjalan sendiri. Keduanya harus bersinergi melalui:

  • Keluarga sebagai sekolah pertama dalam menanamkan iman dan adat.

  • Sekolah sebagai lembaga formal yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter.

  • Tokoh masyarakat yang konsisten menjadi teladan dalam adat dan syarak.

  • Pemerintah daerah melalui kebijakan yang mendukung pembinaan generasi muda berbasis agama dan budaya.

Kesimpulan

Generasi tawuran adalah cerminan lemahnya pegangan nilai agama dan budaya lokal. Untuk menekan fenomena ini, urgensi penguatan nilai agama dan Minangkabau tidak dapat ditawar lagi. Dengan menjadikan agama sebagai benteng moral dan adat Minangkabau sebagai pedoman sosial, remaja dapat tumbuh sebagai generasi yang berakhlak mulia, berbudaya, dan siap menjadi pemimpin masa depan.

Relevansi Karakter dan Nilai Matematis dalam Kehidupan Generasi Pembelajar

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)

Matematika selama ini sering dipandang sekadar kumpulan rumus dan angka. Namun, lebih dari itu, matematika sesungguhnya mengandung nilai-nilai karakter yang penting bagi kehidupan sehari-hari, terutama bagi generasi pembelajar yang hidup di era penuh tantangan global. Karakter nilai matematis dapat berfungsi sebagai fondasi berpikir, bersikap, dan bertindak dalam menghadapi dinamika kehidupan modern.

1. Nilai Ketelitian dan Kebenaran

Matematika mengajarkan pentingnya ketepatan dan konsistensi dalam berpikir. Generasi pembelajar yang terbiasa dengan proses matematis akan cenderung berhati-hati, teliti, dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Nilai ini relevan ketika mereka harus menganalisis informasi yang berlimpah di era digital, agar tidak mudah terjebak pada informasi palsu atau asumsi yang menyesatkan.

2. Nilai Logika dan Penalaran

Matematika melatih kemampuan berpikir logis, sistematis, dan kritis. Generasi yang memiliki keterampilan bernalar akan lebih siap menghadapi problematika kompleks, baik dalam dunia akademik maupun kehidupan sosial. Kemampuan logis ini juga menjadi dasar dalam pengambilan keputusan yang adil, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan.

3. Nilai Disiplin dan Konsistensi

Pemecahan masalah matematika membutuhkan langkah-langkah teratur, aturan baku, serta konsistensi. Karakter disiplin yang dibangun dari proses belajar matematika akan membantu generasi muda menjaga etos kerja, komitmen, serta integritas dalam menjalani kehidupan akademik maupun profesional.

4. Nilai Kreativitas dan Inovasi

Meskipun identik dengan aturan baku, matematika juga mendorong kreativitas. Ada berbagai strategi penyelesaian yang bisa dipilih untuk menemukan jawaban. Nilai ini melatih generasi pembelajar agar tidak hanya terpaku pada satu cara, tetapi berani menciptakan solusi alternatif. Di era revolusi industri 4.0 dan society 5.0, kreativitas berbasis logika menjadi modal utama untuk berinovasi.

5. Nilai Kesabaran dan Pantang Menyerah

Menghadapi soal matematika seringkali menantang, bahkan membuat frustrasi. Namun, proses itulah yang menumbuhkan sikap sabar dan daya juang. Generasi pembelajar yang terbiasa menghadapi kesulitan matematis akan lebih kuat menghadapi tantangan kehidupan nyata, tidak mudah menyerah, dan terus berusaha mencari solusi terbaik.

6. Nilai Kerja Sama dan Komunikasi

Dalam pembelajaran matematika modern, diskusi kelompok dan kolaborasi sering digunakan. Dari sini, generasi pembelajar belajar bagaimana mengkomunikasikan gagasan abstrak menjadi bahasa yang dapat dipahami orang lain. Nilai komunikasi matematis ini penting untuk melatih keterampilan abad ke-21, yaitu kemampuan bekerja sama lintas bidang dan lintas budaya.

7. Relevansi dalam Kehidupan Sehari-hari

Karakter nilai matematis tidak hanya bermanfaat di ruang kelas, melainkan juga dalam kehidupan nyata. Ketelitian diperlukan dalam mengelola keuangan, penalaran logis dibutuhkan dalam memilih informasi, disiplin berperan dalam mengatur waktu, dan kreativitas penting untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Dengan demikian, nilai-nilai matematis menjadi pilar penting dalam membentuk generasi pembelajar yang berdaya saing global.


Penutup

Matematika bukan hanya tentang angka dan rumus, melainkan sarana pembentukan karakter yang relevan dengan kebutuhan hidup generasi pembelajar. Nilai-nilai seperti ketelitian, logika, disiplin, kreativitas, kesabaran, hingga kerja sama adalah bekal utama dalam menghadapi tantangan era modern. Oleh karena itu, penting bagi pendidik dan masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa pembelajaran matematika sejatinya adalah pembelajaran hidup, yang membentuk generasi cerdas, berkarakter, dan siap bersaing secara global.

Kenapa Sarjana Sulit Mencari Kerja di Negeri Ini?

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)

Fenomena pengangguran terdidik menjadi salah satu ironi terbesar di negeri ini. Di satu sisi, perguruan tinggi setiap tahun meluluskan ratusan ribu sarjana dengan berbagai disiplin ilmu. Namun di sisi lain, lapangan pekerjaan yang tersedia justru tidak sebanding. Akibatnya, banyak lulusan perguruan tinggi harus menghadapi kenyataan pahit: ijazah di tangan, tapi pekerjaan tak kunjung datang.

1. Kesenjangan Antara Dunia Kampus dan Dunia Kerja

Salah satu akar masalahnya adalah jurang antara teori yang diajarkan di bangku kuliah dengan kebutuhan nyata di dunia industri. Banyak perusahaan menuntut keterampilan praktis, kemampuan komunikasi, kerja tim, hingga penguasaan teknologi terbaru. Sayangnya, tidak semua perguruan tinggi mampu menyesuaikan kurikulumnya dengan cepat mengikuti perubahan zaman. Akibatnya, banyak sarjana “pintar di atas kertas” namun gagap menghadapi realitas kerja.

2. Lapangan Kerja yang Terbatas

Pertumbuhan jumlah sarjana tidak diiringi dengan pertumbuhan lapangan kerja yang memadai. Industri manufaktur, teknologi, maupun sektor jasa memang berkembang, tetapi tidak cukup cepat menyerap tenaga kerja baru. Ironisnya, banyak perusahaan justru mengurangi tenaga kerja dengan alasan efisiensi dan otomatisasi. Persaingan pun menjadi semakin ketat, baik antar sesama sarjana maupun dengan lulusan non-sarjana yang memiliki keterampilan teknis.

3. Budaya "Ijazah Oriented"

Di Indonesia, masih ada anggapan bahwa kesuksesan harus ditempuh dengan gelar akademik. Padahal, pasar kerja tidak hanya menilai gelar, melainkan keterampilan, kreativitas, dan pengalaman. Banyak sarjana yang kurang mau mengasah soft skill, keterampilan digital, maupun kemampuan wirausaha karena terlalu percaya bahwa “gelar S1 sudah cukup membuka pintu pekerjaan”. Akhirnya, ketika berhadapan dengan realitas, banyak yang tidak siap bersaing.

4. Kurangnya Jiwa Wirausaha

Fakta lain yang perlu dicermati adalah rendahnya minat lulusan perguruan tinggi untuk berwirausaha. Data menunjukkan bahwa sebagian besar sarjana masih bercita-cita menjadi pegawai negeri, karyawan swasta, atau bekerja di BUMN. Padahal, lapangan kerja formal jumlahnya terbatas. Kurangnya dukungan ekosistem kewirausahaan di kampus juga membuat sarjana ragu untuk terjun membangun usaha sendiri.

5. Kualitas Pendidikan yang Tidak Merata

Perguruan tinggi di negeri ini memiliki kualitas yang beragam. Ada kampus yang mampu mencetak lulusan berdaya saing global, namun tidak sedikit pula yang masih minim fasilitas, dosen terbatas, serta kurikulum yang ketinggalan zaman. Lulusan dari kampus dengan mutu rendah sering kali kesulitan menembus pasar kerja karena dianggap kurang siap oleh dunia industri.

Jalan Keluar: Dari Individu hingga Kebijakan

Kesulitan mencari kerja bagi sarjana bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau kampus, melainkan juga tanggung jawab pribadi. Lulusan harus lebih proaktif mengasah keterampilan praktis, memperluas jejaring, serta membuka diri pada peluang baru di luar jalur konvensional. Sementara itu, pemerintah dan perguruan tinggi perlu bersinergi mencetak lulusan yang sesuai kebutuhan industri, sekaligus menciptakan ekosistem kewirausahaan yang sehat.

Penutup

Jika masalah ini dibiarkan, pengangguran terdidik bisa menjadi bom waktu sosial yang berbahaya. Sarjana yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan justru terjebak dalam lingkaran frustasi dan keterbatasan. Karena itu, negeri ini perlu segera berbenah: menata ulang pendidikan tinggi, memperluas kesempatan kerja, dan membangun mental generasi muda yang tidak hanya berorientasi mencari pekerjaan, tetapi juga menciptakan pekerjaan.

Jumat, 12 September 2025

Peran Kampus dalam Membangun Peradaban Bangsa

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)

Kampus atau perguruan tinggi bukan hanya sekadar institusi pendidikan, tetapi juga pusat pengembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan peradaban. Sejarah menunjukkan bahwa kemajuan suatu bangsa selalu ditandai dengan tumbuhnya lembaga pendidikan tinggi yang melahirkan generasi intelektual, pemimpin, dan inovator. Dengan demikian, kampus memegang peran strategis dalam membangun peradaban bangsa di era modern.

1. Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Inovasi

Kampus berfungsi sebagai laboratorium besar tempat penelitian dan inovasi dikembangkan. Melalui kegiatan riset, kampus dapat melahirkan teknologi baru, metode pembelajaran, maupun solusi atas berbagai persoalan bangsa, seperti kesehatan, energi, ekonomi, hingga lingkungan. Inovasi yang lahir dari kampus dapat menjadi fondasi kuat bagi terciptanya masyarakat yang maju dan berdaya saing.

2. Pembentuk Karakter dan Moral Bangsa

Selain kecerdasan intelektual, kampus juga berperan penting dalam membentuk karakter generasi muda. Melalui pembinaan organisasi mahasiswa, kegiatan pengabdian masyarakat, serta pendidikan berbasis nilai, kampus mencetak lulusan yang tidak hanya pintar, tetapi juga berintegritas, memiliki empati sosial, serta menjunjung tinggi etika dan moralitas.

3. Pusat Kebudayaan dan Dialog Peradaban

Kampus merupakan ruang terbuka bagi pertukaran gagasan, budaya, dan nilai-nilai universal. Kehadiran mahasiswa dari berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya menjadikan kampus sebagai miniatur kebhinekaan bangsa. Diskusi, seminar, dan kajian ilmiah di kampus melahirkan toleransi, menghargai perbedaan, sekaligus memperkaya khazanah kebudayaan nasional.

4. Motor Penggerak Pembangunan Sosial

Tri Dharma Perguruan Tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—menjadi dasar bagi kampus untuk berkontribusi nyata dalam pembangunan sosial. Mahasiswa dan dosen terjun langsung ke masyarakat untuk memberikan pendampingan, pemberdayaan, serta transfer ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kampus berperan aktif menjembatani ilmu dengan praktik kehidupan sehari-hari masyarakat.

5. Melahirkan Pemimpin Masa Depan

Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa banyak pemimpin lahir dari lingkungan kampus, mulai dari tokoh pergerakan nasional hingga generasi muda saat ini. Kampus menjadi arena pembelajaran kepemimpinan, demokrasi, serta pengabdian kepada bangsa. Lulusan kampus diharapkan tidak hanya menjadi tenaga profesional, tetapi juga pemimpin yang visioner, berintegritas, dan berorientasi pada kemajuan bangsa.

Penutup

Kampus memiliki peran yang sangat vital dalam membangun peradaban bangsa. Melalui ilmu pengetahuan, pembentukan karakter, pengembangan kebudayaan, serta lahirnya pemimpin masa depan, kampus menjadi motor penggerak yang menentukan arah perjalanan bangsa. Oleh karena itu, memperkuat kualitas pendidikan tinggi merupakan langkah strategis dalam memastikan Indonesia mampu bersaing di tingkat global sekaligus menjaga jati diri bangsa.


Kuliah Zaman Now: Seberapa Efektif AI di Dunia Perkuliahan?

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd (Dosen & Praktisi Pendidikan) Pernah kebayang nggak kalau tugas kuliah bisa dikoreksi otomatis, ata...