Rabu, 17 September 2025

Ki Hajar Dewantara: Sang Bapak Pendidikan yang Mulai Terlupakan

 Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)


Ki Hajar Dewantara adalah sosok yang dalam sejarah Indonesia diberi gelar Bapak Pendidikan Nasional. Nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, lahir pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta, dan wafat pada 26 April 1959. Melalui pemikiran dan perjuangannya, lahirlah dasar-dasar pendidikan nasional yang menekankan pada kebebasan belajar, keberpihakan pada rakyat kecil, serta pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Namun, seiring berjalannya waktu, sosok dan ajarannya seakan mulai terlupakan, hanya tinggal sekadar nama yang muncul setiap Hari Pendidikan Nasional. 

Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara

Ada satu falsafah Ki Hajar yang begitu terkenal:

“Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”

Artinya: di depan memberi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan.

Ungkapan ini bukan hanya semboyan, tetapi arah pendidikan yang menekankan peran pendidik sebagai pemandu, bukan penguasa. Bagi Ki Hajar, pendidikan bukan sekadar memindahkan ilmu, melainkan membentuk karakter dan menumbuhkan rasa kebangsaan.

Perjuangan Melawan Kolonialisme

Dalam masa penjajahan Belanda, Ki Hajar Dewantara menentang sistem pendidikan yang diskriminatif. Hanya kalangan priyayi dan bangsawan yang berhak mendapatkan pendidikan, sedangkan rakyat kecil tidak memiliki kesempatan. Untuk melawan itu, Ki Hajar mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922. Melalui lembaga ini, ia membuka akses pendidikan bagi semua anak bangsa tanpa membedakan status sosial.

Mengapa Mulai Terlupakan?

Ironisnya, meski jasanya begitu besar, generasi muda kini lebih sering mengingat nama Ki Hajar Dewantara hanya sebatas tokoh sejarah dalam buku pelajaran. Ada beberapa faktor yang membuat ajaran beliau seakan terpinggirkan:

1. Pendidikan yang Semakin Pragmatis

Sistem pendidikan modern sering kali lebih berorientasi pada angka, nilai ujian, dan target kurikulum. Filosofi pendidikan Ki Hajar tentang kebebasan belajar dan pembentukan karakter justru jarang dihidupkan.

2. Kurangnya Integrasi Nilai Filosofis dalam Kurikulum

Sekolah memang masih mengajarkan siapa Ki Hajar Dewantara, tetapi lebih pada biografi singkat, bukan implementasi gagasan besarnya dalam kehidupan belajar.

3. Budaya Menghafal, Bukan Menghayati

Banyak siswa mengenal semboyan tut wuri handayani, namun tidak memahami makna mendalamnya dalam proses pendidikan.

Relevansi Gagasan Ki Hajar Dewantara

Jika kita melihat kondisi pendidikan hari ini, gagasan Ki Hajar justru sangat relevan:

Pendidikan Merdeka Belajar yang dicanangkan pemerintah saat ini sesungguhnya merupakan refleksi dari pemikiran Ki Hajar.

Kesetaraan akses pendidikan menjadi hal penting di era digital, sama seperti yang dulu diperjuangkan beliau lewat Taman Siswa.

Pembentukan karakter bangsa tetap menjadi fondasi utama agar generasi muda tidak hanya cerdas, tetapi juga berbudaya dan berkepribadian.

Penutup

Ki Hajar Dewantara bukan sekadar nama jalan, nama sekolah, atau simbol di Hari Pendidikan Nasional. Ia adalah peletak dasar pendidikan Indonesia yang menekankan kebebasan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Jika kita hanya mengenalnya sebatas tokoh sejarah tanpa menghidupkan ajarannya, maka benar adanya: Bapak Pendidikan ini perlahan-lahan mulai terlupakan.

Sudah saatnya kita tidak hanya mengingat, tetapi juga menghidupkan kembali gagasan-gagasannya dalam dunia pendidikan modern. Dengan begitu, perjuangan Ki Hajar Dewantara akan selalu relevan dan memberi arah bagi masa depan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kuliah Zaman Now: Seberapa Efektif AI di Dunia Perkuliahan?

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd (Dosen & Praktisi Pendidikan) Pernah kebayang nggak kalau tugas kuliah bisa dikoreksi otomatis, ata...