Sabtu, 13 September 2025

Kenapa Sarjana Sulit Mencari Kerja di Negeri Ini?

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd

(Dosen & Praktisi Pendidikan)

Fenomena pengangguran terdidik menjadi salah satu ironi terbesar di negeri ini. Di satu sisi, perguruan tinggi setiap tahun meluluskan ratusan ribu sarjana dengan berbagai disiplin ilmu. Namun di sisi lain, lapangan pekerjaan yang tersedia justru tidak sebanding. Akibatnya, banyak lulusan perguruan tinggi harus menghadapi kenyataan pahit: ijazah di tangan, tapi pekerjaan tak kunjung datang.

1. Kesenjangan Antara Dunia Kampus dan Dunia Kerja

Salah satu akar masalahnya adalah jurang antara teori yang diajarkan di bangku kuliah dengan kebutuhan nyata di dunia industri. Banyak perusahaan menuntut keterampilan praktis, kemampuan komunikasi, kerja tim, hingga penguasaan teknologi terbaru. Sayangnya, tidak semua perguruan tinggi mampu menyesuaikan kurikulumnya dengan cepat mengikuti perubahan zaman. Akibatnya, banyak sarjana “pintar di atas kertas” namun gagap menghadapi realitas kerja.

2. Lapangan Kerja yang Terbatas

Pertumbuhan jumlah sarjana tidak diiringi dengan pertumbuhan lapangan kerja yang memadai. Industri manufaktur, teknologi, maupun sektor jasa memang berkembang, tetapi tidak cukup cepat menyerap tenaga kerja baru. Ironisnya, banyak perusahaan justru mengurangi tenaga kerja dengan alasan efisiensi dan otomatisasi. Persaingan pun menjadi semakin ketat, baik antar sesama sarjana maupun dengan lulusan non-sarjana yang memiliki keterampilan teknis.

3. Budaya "Ijazah Oriented"

Di Indonesia, masih ada anggapan bahwa kesuksesan harus ditempuh dengan gelar akademik. Padahal, pasar kerja tidak hanya menilai gelar, melainkan keterampilan, kreativitas, dan pengalaman. Banyak sarjana yang kurang mau mengasah soft skill, keterampilan digital, maupun kemampuan wirausaha karena terlalu percaya bahwa “gelar S1 sudah cukup membuka pintu pekerjaan”. Akhirnya, ketika berhadapan dengan realitas, banyak yang tidak siap bersaing.

4. Kurangnya Jiwa Wirausaha

Fakta lain yang perlu dicermati adalah rendahnya minat lulusan perguruan tinggi untuk berwirausaha. Data menunjukkan bahwa sebagian besar sarjana masih bercita-cita menjadi pegawai negeri, karyawan swasta, atau bekerja di BUMN. Padahal, lapangan kerja formal jumlahnya terbatas. Kurangnya dukungan ekosistem kewirausahaan di kampus juga membuat sarjana ragu untuk terjun membangun usaha sendiri.

5. Kualitas Pendidikan yang Tidak Merata

Perguruan tinggi di negeri ini memiliki kualitas yang beragam. Ada kampus yang mampu mencetak lulusan berdaya saing global, namun tidak sedikit pula yang masih minim fasilitas, dosen terbatas, serta kurikulum yang ketinggalan zaman. Lulusan dari kampus dengan mutu rendah sering kali kesulitan menembus pasar kerja karena dianggap kurang siap oleh dunia industri.

Jalan Keluar: Dari Individu hingga Kebijakan

Kesulitan mencari kerja bagi sarjana bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau kampus, melainkan juga tanggung jawab pribadi. Lulusan harus lebih proaktif mengasah keterampilan praktis, memperluas jejaring, serta membuka diri pada peluang baru di luar jalur konvensional. Sementara itu, pemerintah dan perguruan tinggi perlu bersinergi mencetak lulusan yang sesuai kebutuhan industri, sekaligus menciptakan ekosistem kewirausahaan yang sehat.

Penutup

Jika masalah ini dibiarkan, pengangguran terdidik bisa menjadi bom waktu sosial yang berbahaya. Sarjana yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan justru terjebak dalam lingkaran frustasi dan keterbatasan. Karena itu, negeri ini perlu segera berbenah: menata ulang pendidikan tinggi, memperluas kesempatan kerja, dan membangun mental generasi muda yang tidak hanya berorientasi mencari pekerjaan, tetapi juga menciptakan pekerjaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kuliah Zaman Now: Seberapa Efektif AI di Dunia Perkuliahan?

Fahkrullah I Tama Umar, S.PdI., M.Pd (Dosen & Praktisi Pendidikan) Pernah kebayang nggak kalau tugas kuliah bisa dikoreksi otomatis, ata...